Live Streaming TV Oline MotoGp 2018 jerez spanyol adalah siaran langsung balapan motor bergengsi yang tidak akan anda lewatkan setiap Live nya karena kini setiap balapan nya semakin seru untuk kalian tonton apalagi nonton siaran nya dengan menggunakan Live Streaming HD di tambah nonton kumpul bareng rekan - rekan anda pastinya nonton akan semakin seru dan gembira.
Tonton Di Sini
Jadwal Live Streaming TV Online MotoGp spanyol de jerez minggu 19 mei 2019 jam 19:00 WIB - nonton balapan MotoGp dari para pembalap kelas dunia seperti Rossi dan kawan-kawan lainnya menjadi sebuah tonton nan yang sangat bergengsi untuk anda lewatkan karena hal tersebut telah menjadi sebuah tontonnan yang sangat menggembirakan untuk di saksikan apalagi dengan menggunakan situs kami seperti hal contoh nya Live streaming motogp dan bisa anda kunjungi situs Yalla Shoot untuk memperlengkap chenel siaran seputaran olahraga di gadged atau dekstop anda.
Ada beberapa keunggulan -keunggulan yang bisa anda dapatkan ketika nonton di situs kami ini di saat siaran langsung live streaming trans7 anda juga akan mendapatkan informasi - informasi seputaran MotorGp dan anda juga dengan sangat mudah bisa melihat Jadwal MotoGP 2019 dengan sangat mudah, setelah itu anda tidak akan lagi ketinggalan Jadwal Live Streaming TV Online MotoGp Malam Hari Ini, dengan mengunjungi situs kami ini anda akan di sajikan tampilan gambar yang sangat jernih dan suara yang sangat menggelegar untuk anda dengarkan dan saksikan.
Hukum Berbuka Puasa lewat Azan Maghrib di TV
Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, umumnya kebanyakan masyarakat menghidupkan televisi di sore hari Ramadhan untuk menunggu suara azan Maghrib. Bahkan masyarakat telah mengetahui stasiun televisi yang kerap memutar lebih awal kumandang azan maghrib dibanding stasiun televisi lainnya. Bagaimana dengan buka puasa dengan suara azan di tv? Mohon penjelasannya. Wassalamu alaikum wr. wb. (Syamsul Huda/Jakarta).
Jawaban
Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah SWT. Puasa adalah ibadah yang menuntut seseorang untuk menahan diri dari makanan, minuman, dan hubungan seksual sejak terbit fajar hingga matahari tenggelam atau ghurub.
Orang yang menjalankan ibadah puasa perlu memastikan tenggelamnya matahari sebagai waktu berbuka puasa. Oleh karena itu, ia perlu berhati-hati untuk menyantap hidangan takjil sebelum ada informasi pasti perihal ghurub atau matahari tenggelam.
قوله (والاحتياط أن لا يأكل آخر النهار إلا بيقين) كأن يعاين الغروب ليأمن الغلط (ويحل) الأكل آخره (بالاجتهاد) بورد أو غيره (في الأصح) كوقت الصلاة، والثاني: لا، لإمكان الصبر إلى اليقين.
Artinya, “(Seseorang tidak memakan sesuatu di ujung siang Ramadhan sebagai bentuk ihtiyath atau kehati-hatian kecuali berdasarkan keyakinan) yaitu menyaksikan matahari tenggelam agar terjamin dari kekeliruan. (Seseorang boleh) memakan sesuatu di ujung siang Ramadhan (berdasarkan ijtihad) yaitu wirid atau lainnya (menurut pendapat yang lebih shahih) seperti waktu shalat. Sedangkan pendapat kedua mengatakan tidak boleh memakan takjil karena masih memungkinkan kesabaran sampai benar-benar yakin masuk waktu maghrib,” (Lihat M Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Makrifah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz I, halaman 631).
Dari keterangan ini, kita mendapatkan keterangan bahwa orang yang beribadah puasa perlu berupaya untuk mencari informasi perihal kedatangan waktu maghrib. Artinya, ia tidak boleh menduga-duga atas kedatangan waktu maghrib yang berkaitan dengan waktu berbuka puasa.
أما بغير اجتهاد فلا يجوز ولو بظن؛ لأن الأصل بقاء النهار، وقياس اعتماد الاجتهاد جواز اعتماد خبر العدل بالغروب عن مشاهدة
Artinya, “Adapun tanpa berdasarkan ijtihad, maka seseorang tidak boleh berbuka puasa meski dengan dugaan karena pada prinsipnya waktu siang masih berjalan. Sedangkan qiyas ijtihad sebagai sandaran buka puasa dimungkinkan sebagaimana kebolehan kabar seorang yang adil atas tenggelamnya matahari berdasarkan kesaksiannya,” (Lihat M Khatib As-Syarbini, Mughnil muhtaj, [Beirut, Darul Makrifah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz I, halaman 631-632).
Lalu bagaimana status azan maghrib di bulan Ramadhan yang diputar oleh pelbagai stasiun televisi?
Azan maghrib yang diputar oleh pelbagai stasiun televisi didasarkan pada semisal jadwal imsakiyah dan waktu shalat yang juga sebenarnya dimiliki masyarakat dan dapat diverifikasi di rumah masing-masing. Sementara jadwal imsakiyah dan waktu shalat disusun berdasarkan perhitungan astronomis.
Menurut hemat kami, seseorang yang beribadah puasa boleh menyandarkan diri waktu maghribnya pada azan yang diputar oleh stasiun televisi.
Namun demikian, kami menyarankan agar masyarakat menunggu sejenak buka puasanya untuk memastikan waktu maghrib dengan memindah-mindah ke stasiun tv yang lain dan memverifikasinya dengan jam dinding serta jadwal shalat dan imsakiyah agar informasi atas waktu maghrib diperoleh secara mutawatir dan dari pelbagai sumber.
Ketika waktu maghrib telah pasti, maka ketika itu kita disunnahkan untuk berbuka puasa sebagaimana keterangan Syekh Ramli berikut ini:
وَمَحَلُّ النَّدْبِ إذَا تَحَقَّقَ الْغُرُوبُ أَوْ ظَنَّهُ بِأَمَارَةٍ لِخَبَرِ {لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ} مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya, “Kesunnahan penyegeraan berbuka puasa terletak pada kepastian waktu maghrib atau dugaan waktu maghrib dengan tanda-tanda tertentu berdasarkan hadits, ‘Orang-orang senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka,’ [HR Muttafaq Alaih],” (Lihat Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz IX, halaman 408).
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
(Alhafiz Kurniawan)
Salah satu perdebatan yang muncul tiap bulan Ramadhan adalah polemik jumlah rakaat shalat Tarawih. Di Indonesia, setidaknya ada dua kubu soal tarawih ini: kalangan yang shalat tarawih 8 rakaat, dan kalangan yang tarawih 20 rakaat. Tentu hal ini mudah kita dapati.
Mulanya pemahaman akan adanya shalat tarawih di bulan Ramadhan ini adalah bentuk riil dari hadits Nabi:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa bangun (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan iman dan ihtisab, maka diampuni baginya dosa-dosa yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Istilah tarawih sendiri belum ada pada masa Nabi. Nabi hanya mencontohkan shalat malam yang beliau lakukan selama Ramadhan. Baru belakangan di masa Khalifah Umar bin Khattab, shalat di malam hari Ramadhan ini disebut tarawih, dan mulai diselenggarakan secara berjamaah.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, disebutkan Nabi shalat di masjid Nabawi pada suatu malam Ramadhan. Para sahabat yang tahu lantas mengikutinya. Seiring waktu semakin banyak yang mengikuti aktivitas Nabi ini.
Dua malam setelahnya, Nabi masih melakukan shalat tersebut, dan semakin banyak yang mengikuti. Namun setelah hari keempat dan beberapa hari setelahnya, Nabi tidak muncul di masjid. Orang-orang heran. Pada suatu pagi, para sahabat menanyakan hal ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sebenarnya tidak ada yang menghambatku untuk turut serta bersama kalian. Hanya saja aku takut nanti hal ini akan menjadi wajib.”
Beberapa mazhab fiqih pada dasarnya tidak banyak berbeda tentang pendapat seputar jumlah rakaat tarawih. Sebagaimana disebutkan Ibnu Rusyd dalam Bidâyatul Mujtahid, beda jumlah ini adalah soal afdhaliyah saja. Imam Malik bin Anas pada salah satu pendapatnya, kemudian Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan begitu pula Dawud azh Zhahiri, memilih untuk tarawih dengan 20 rakaat. Ada juga pendapat yang menyatakan tarawih itu sejumlah 36 rakaat, meski tidak populer.
Imam Ibnu Qudamah mencatat dalam al-Mughni bahwa sebab perbedaan ini adalah dasar hadits dan riwayat sahabat yang digunakan. Imam Malik bin Anas, sebagaimana ulama lain, menggunakan riwayat dari Yazid bin Ruman yang mauquf atau disandarkan pada perilaku sahabat, bahwa orang-orang sembahyang tarawih pada masa Umar bin Khattab dengan dua puluh rakaat, diimami sahabat Ubay bin Ka’ab.
Hal ini berbeda dengan keterangan yang disampaikan salah satu ahli hadits generasi awal, yaitu Abu Bakar bin Abi Syaibah, yang juga guru Imam Malik. Ia menyebutkan menemui orang-orang di Madinah shalat sebanyak 36 rakaat.
Kalangan yang berpendapat bahwa tarawih dilakukan delapan rakaat menyandarkan pada hadits berikut:
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ -رضي الله عنها-: كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ؟ قَالَتْ: مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً: يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ قَالَ: تَنَامُ عَيْنِي وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Salamah, ia pernah bertanya kepada Aisyah: “Bagaimana shalat Nabi Muhammad di bulan Ramadhan?”
Aisyah menjawab,“Beliau tak menambah pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat: shalat empat rakaat, yang betapa bagus dan lama, lantas shalat empat rakaat, kemudian tiga rakaat. Aku pun pernah bertanya: Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum menunaikan shalat witir? Beliau menjawab: “mataku tidur, tapi hatiku tidak.”
Hadits ini yang menjadi dasar kalangan yang bertarawih dengan delapan rakaat – plus tiga rakaat witir. Kendati demikian, hadits di atas oleh banyak ulama dinilai sebagai hadits yang berkaitan dengan jumlah rakaat dan tata cara witir, bukan tarawih.
Dengan begitu, jumlah rakaat tarawih ini berbeda disebabkan perbedaan pemahaman atas hadits. Bila Anda hendak memilih delapan, dua puluh, atau lebih banyak dari itu, ketahuilah bahwa tidak ada keterangan eksplisit dalam hadits Nabi seputar jumlah rakaat tarawih.
Menurut keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, sebagaimana dikutip KH Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Hadits-Hadits Palsu Seputar Ramadhan, pada dasarnya tiada ketetapan tertentu dari Nabi dalam hadits seputar rakaat tarawih.
Para ulama yang memilih pendapat 20 rakaat di atas, memilih berdasarkan sisi keutamaannya, karena dalilnya masih disandarkan pada perbuatan sahabat di masa Umar bin Khattab dan tidak dikomentari oleh sahabat lain. Pun jika ada yang memilih jumlah rakaat yang berbeda, jelas bukan masalah. Semoga ibadah kita di bulan Ramadhan, khususnya tarawih, mendatangkan ridla Allah. Wallahu a'lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)
Biografi singkat
George Sarton, seorang ahli kimia dan sejarawan Amerika kelahiran Belgia, mengibaratkan Al-Biruni sebagai Leonardo da Vinci-nya Islam karena penguasaannya terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sementara K Ajram menilai kalau Leonardo da Vinci adalah Al-Biruni-nya Kristen. Alasannya, Al-Biruni hidup lima abad lebih dahulu dari pada da Vinci. Sehingga sumbangsih Al-Biruni dalam ilmu pengetahuan lebih orisinil.
Abu Raihan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni lahir pada 4 September 973 M di Kath, ibu kota Khawarizm (kini wilayah Uzbekistan). Sejak kecil Al-Biruni sudah tertarik dengan matematika dan astronomi. Dalam perjalanan hidupnya, Al-Biruni mempelajari banyak disiplin ilmu pengetahuan seperti sejarah, geografi, fisika, filsafat, dan agama.
Karena pergolakan politik yang ada pada saat itu, Al-Biruni berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Maklum pada saat itu ilmuwan Muslim –termasuk Al-Biruni- membaca, meneliti, dan melakukan eksperimen hingga menemukan teori di bawah pengawasan dan penjagaan seorang khalifah. Jika sang khalifah atau sultan menginginkannya, maka kehidupan ilmuwan terjamin. Begitu sebaliknya.
Merujuk buku Al-Biruni: Pakar Astronomi dan Ilmuwan Muslim Abad ke -11, mulanya Al-Biruni tinggal di istana Dinasti Banu Irak, yang menguasai sisi timur Khawarizm dengan ibu kota Kath. Namun ketika Abu Ali Ma’mun bin Muhammad dari Dinasti Ma’muni mengalahkan Dinasti Banu Irak dan mempersatukan wilayah Khawarizm pada 995 M, Al-Biruni meninggalkan kota kelahirannya karena takut nyawaya terancam. Pada saat ini, Al-Biruni telah berhasil menyusun sebuah kitab berjudul Kartografi, tentang ilmu peta.
Al-Biruni kemudian pindah ke kota Rayy (sekarang dekat dengan Teheran, Iran), salah satu pusat pusat astronomi pada saat itu selain Khawarizm dan Baghdad. Di kota ini, Al-Biruni terus mengembangkan kemampuannya di bidang astronomi. Namun sayang, penguasa Rayy saat itu Fakhrul Daulah tidak bersedia menerima Al-Biruni untuk ‘bekerja’ di istananya. Selama di Rayy, Al-Biruni menyelesaikan kitab Tahdid Nihayat al-Amakin li Tashbih Masafat al-Masakin (Penentuan Kedudukan Tempat untuk Memastikan Jarak antar Kota).
Penolakan di Rayy tidak membuat Al-Biruni ciut. Ia akhirnya pindah ke Gorgon. Syamsul Ma’ali Qabus, penguasa Gorgon, mengundang Al-Biruni untuk berkarya di istananya. Dengan dukungan moril dan materil yang memadahi di Gorgon, Al-Biruni betul-betul memaksimalkan kemampuannya. Ia banyak membaca, menulis, bepergian ke kota-kota untuk memetakan garis lintang, dan menganalisa peristiwa-peristiwa antariksa seperti gerhana bulan. Beberapa kitab yang berhasil ditulis Al-Biruni selama di Gorgon antara lain Kitab Sisa Pengaruh Masa Lampau, Risalah Tajrid al-Sha’at (Risalah Khusus Saat), dan lainnya.
Di wilayah lain, Abu Ali Ma’mun bin Muhammad penguasa Dinasti Ma’muni. Ia kemudian digantikan Abul Hasal Ali. Berbeda dengan pendahulunya, Abul Hasal Ali memiliki impian untuk memenuhi istananya dengan ilmuwan-ilmuwan hebat. Maka kemudian ia mengundang Al-Biruni untuk pulang kampung ke Khawarizm dan tinggal istana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Bak gayung bersambut, Al-Biruni menerima tawaran tersebut.
Gejolak politik lagi-lagi membuat Al-Biruni harus pindah ke tempat lain. Pada saat Dinasti Ghaznawi mengalahkan Dinasti Ma’muni dan menguasai wilayah Khawarizm, maka Al-Biruni diboyong ke Istana Mahmud Ghaznawi. Beruntung bagi Al-Biruni karena penguasa Ghaznawi sangat menghargainya. Al-Biruni diberikan dukungan moril dan materil untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bawah penjagaan Istana Ghaznawi. Al-Biruni tinggal di Ghaznawi selama kurang lebih 30 tahun. Ia wafat di Ghaznah pada 1048.
Di Istana Ghaznawi, Al-Biruni menulis beberapa kitab monumental diantaranya Masamiri Khawarizm (Revolusi Khawarizm), Tarikh al-Hind (Tarikh India), Penentuan Kedudukan Tempat untuk Memastikan Jarak antar Kota, Kitab Pemahaman Puncak Ilmu Bintang, al-Qonun al-Mas’udi, kitab Layl wa al-Nahar (Kitab Malam dan Siang), Kitab Bahan Obat, dan lainnya.
Penghitung pertama keliling bumi
Al-Biruni dikenal sebagai seorang ilmuwan eksperimentalis. Ia melakukan penelitian ulang terhadap teori-teori yang sudah ada dan berkembang untuk membuktikan kebenarannya. Misal teori Aristoteles tentang penglihatan. Aristoteles meyakini bahwa penglihatan diakibatkan oleh sinar yang memancar dari mata dan menuju suatu benda. Sementara, Al-Biruni menyatakan bahwa penglihatan merupakan hasil pantulan cahaya pada benda yang masuk ke mata.
Al-Biruni juga ‘tidak terima’ dengan penemuan sebelumnya. Ia selalu menciptakan alat-alat baru yang dianggapnya lebih canggih dari pada alat yang diciptakan ilmuwan sebelumnya. Misalnya Abu Sa’id Sijzi telah menciptakan Astrolabe heliosentris yang dinilai akurat. Namun Al-Biruni tetap membuat dan mengembangkan Astrolabenya sendiri. Astrolabe yang diberi nama al-Ustawani tersebut tidak hanya dapat mengukur gerak benda langit, tapi juga bisa mengukur lokasi-lokasi di bumi yang sulit dijangkau seperti gunung.
Al-Biruni juga melakukan penelitian terhadap sesuatu ilmu pengetahuan yang ‘belum pernah digarap’ oleh ilmuwan sebelumnya. Salah satu sumbangsih orisinil Al-Biruni adalah keliling bumi. Iya, Al-Biruni adalah orang pertama yang menghitung keliling bumi. Ia melakukan hal itu pada abad ke-11, ketika masih ramai perdebatan antara apakah bentuk bumi bulat atau datar.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, Al-Biruni menggunakan pendekatan perhitungan trigonometri dan memakai Astrolabe al-Ustawani buatannya sendiri untuk menghitung keliling bumi.
Ada beberapa langkah yang ditempuh Al-Biruni untuk mengukur keliling bumi. Pertama-tama, Al-Biruni meyakini kalau bumi itu bulat. Dari sini kemudian ia mencari jari-jari bumi untuk mencari keliling bumi. Al-Biruni cukup beruntung karena pada saat itu besaran phi (π) sudah ditemukan ilmuwan sebelumnya, Al-Khawarizmi.
Di samping itu, Al-Biruni mengukur tinggi gunung yang merupakan sebuah titik permukaan bumi. Al-Biruni mengukur tinggi gunung –disebutkan bahwa gunung tersebut berada di India atau Pakistan- dengan menggunakan Astrolabenya. Caranya ia mengarahkan Astrolabenya ke dua titik berbeda di daratan. Kemudian tangen sudutnya dikalikan dan dibagi selisih tangen dua sudut tersebut dengan rumus trigonometri.
Al-Biruni kemudian mengarahkan Astrolabenya ke titik cakrawala dan membuat garis imajiner 90 derajat yang menembus bumi. Al-Biruni membuat segitiga siku-siku raksasa antara posisi dia berdiri, titik horizon, dan inti bumi. Dikutip laman Owlcation, Al-Biruni mengetahui kalau jari-jari bumi adalah 6.335,725 km dari penghitungannya. Sumber lain menyebutkan kalau jari-jari bumi 6.339,9 km. Lalu kemudian Al-Biruni menggambar bumi dalam dimensi dua yakni berupa lingkaran.
Setelah mendapatkan data-data tersebut, Al-Biruni menghitung keliling bumi dengan rumus keliling lingkaran. Maka hasilnya adalah 40.075 km. Sementara penghitungan modern keliling bumi adalah 40.075,071 km. Artinya penghitungan Al-Biruni hanya meleset 1 persen dari penghitungan modern.
Sementara dalam buku Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, perhitungan Al-Biruni tentang keliling bumi adalah 40.225 km. Adapun penghitungan modern keliling bumi adalah 40.074. Dengan demikian penghitungan Al-Biruni sangat akurat, yakni mencapai ketepatan hingga 99,62 persen dan hanya menyimpang 0,38 persen.
Sebuah penghitungan yang sangat mengagumkan mengingat Al-Biruni melakukannya pada abad ke-11. Pada era dimana ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang secanggih seperti saat ini. Pada saat itu, data tentang jari-jari dan potret bumi juga belum diketahui seperti saat ini. Namun dengan menggunakan cara-cara nonkonvensional dan kreatif, Al-Biruni akhirnya berhasil mengukur keliling bumi. (A Muchlishon Rochmat)
Manusia penghuni dunia pertama kalinya adalah Nabi Adam dan istrinya, Ibu Hawa. Hawa diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari tulang rusuk Adam. Meskipun Nabi Adam lahir menjadi manusia pertama kali, Allah terlebih dahulu menciptakan nur Nabi Muhammad. Tidak aneh, walaupun Nabi Muhammad belum lahir di dunia, namun ketika Nabi Adam menikahi Hawa, Allah menyuruh Adam memberikan mahar berupa shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Mustahil apabila Allah memerintahkan sesuatu yang sia-sia. Dengan kata lain, adanya shalawat Adam kepada Nabi Muhammad merupakan bukti eksistensi Nabi Muhammad kala itu sudah ada walaupun secara fisik belum tampak. Eksistensi Nabi Muhammad adalah sudah diciptakannya nur beliau.
Pelaksanaan pernikahan antara Adam dan Hawa bertempat di surga. Sejak diciptakan, Nabi Adam diletakkan oleh Allah subhanahu wa ta’alla di surga. Sekarang pertanyaannya, apakah surga yang ditempati Adam bersama Hawa waktu itu sama sebagaimana surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang beriman kelak di akhirat kelak?
Menurut keterangan Syekh Mutawalli As-Sya’rawiy, surga yang dihuni Nabi Adam bersama Sayyidatina Hawa bukanlah surga pembalasan sebagaimana yang di akhirat kelak. Sebab, surga pembalasan hanya akan dimasuki manusia setelah melalui proses hisab. Sehingga dengan hisab tersebut, surga hadir sebagai reward bagi orang yang melakukan kebaikan. Itu yang pertama.
Kedua, di surga tidak dikenal dengan taklîf atau tuntutan macam-macam berupa perintah maupun larangan. Orang boleh melakukan apa pun dan makan minum apa pun sehingga minum khamr yang di dunia diharamkan, di surga menjadi halal. Kita tahu, Nabi Adam mendapatkan perintah dan larangan saat di surga waktu itu. Nabi Adam perlu menikah menggunakan mahar. Ia juga dilarang mendekat ke salah satu pohon. Ini bukti bahwa ada taklîf di sana yang secara umum hal tersebut tidak ada jika di surga pembalasan manusia.
Ketiga, di surga tidak ada gangguan setan. Sedang Nabi Adam saat di surga malah digoda oleh setan.
Surga yang ditempati oleh Nabi Adam, menurut Syekh Mutawalli As-Sya’rawi adalah sebuah tempat dengan fasilitas berharga yang lengkap. Allah berkehendak untuk menguji Adam dan Hawa dengan aturan-aturan penting. Allah menguji mereka dengan kekuasaan memilih. Dan semua utusan Allah, mulai Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, semua tidak lepas dengan tuntutan Allah yang berupa “lakukanlah ini!” dan “jangan lakukan itu!”.
Seperti ada satu perintah yang ditujukan kepada Adam dan Hawa sebagaimana dalam ayat:
وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا
Artinya: “Dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu.” (QS Al-Baqarah: 35)
Ada pula larangan yang harus dijauhi oleh Adam dan Hawa:
وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ
Artinya: “(Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini.” (QS Al-Baqarah: 35)
Pada ayat di atas dapat kita pahami bahwa selain Nabi Adam, Hawa pun mendapat perintah dan larangan. Ada yang menarik pada diksi yang dipakai di Al-Qur’an. Pada saat Allah menyuruh Nabi Adam dan istrinya untuk makan semaunya, diksi yang dipakai adalah wakulâ (makanlah kalian berdua). Pada saat yang sama, ketika Allah melarang keduanya memakan buah terlarang, Allah tidak menggunakan diksi walâ ta’kulâ(janganlah kalian berdua makan yang itu), misalnya. Tapi Allah menggunakan kalimat walâ taqrabâ(janganlah kalian berdua mendekat-dekat).
Hal ini ternyata menunjukkan, tabiat atau watak manusia memang tidak secara tiba-tiba melakukan kemaksiatan. Benih-benih kemaksiatan akan muncul setelah dimulai berdekat-dekat terlebih dahulu, baru kemudian terjerumus kepada kemaksiatan yang sesungguhnya. Kita bisa melihat juga larangan berzina. Itu dimulai dari mendekat terlebih dahulu.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (QS Al-Isra’: 32)
Para ulama menyatakan, mendekat dengan zina di antaranya dimulai dari melihat lawan jenis, bersentuhan, berpelukan dan lain sebagainya. Ini dilarang karena berdekatan dengan zina. Nabi Adam dilarang makan buah tertentu, bukan dengan cara mencegahnya langsung pada inti larangan. Mendekat saja tidak boleh. Oleh karena itu, jika ada orang ingin selamat, mestinya ia mulai menjauhi dari hal-hal yang berdekatan atau berpotensi menimbulkan kemaksiatan.
(Dikembangkan dari Syekh Mutawalli As-Sya’rawi dalam Al-Fatâwâ Kullu Ma Yuhimmu al-Muslimu fi Hayatihi wa Yaumihi wa Ghadihi, [Maktabah Al-Quran, Kairo] tanpa tahun, juz 6, halaman 70-71). (Ahmad Mundzir)
Kita pernah mendengar riwayat Imam At-Tirmidzi yang mengisahkan bagaimana Rasulullah SAW bergurau dengan seorang perempuan tua yang meminta doanya agar Allah memasuk nenek itu ke dalam surga. “Maaf bu, surga takkan dimasuki oleh perempuan tua,” jawab Rasulullah SAW.
Ketika nenek itu menangis, Rasulullah SAW meminta para sahabat mengejarnya, “Kabarkan kepadanya bahwa dia tidak akan masuk ke surga dalam keadaan usia lanjut karena Allah berfirman, ‘Sungguhnya Kami menciptakan mereka dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya,'” (Surat Al-Waqi’ah ayat 35-37).
Pada riwayat lain, Imam At-Tirmidzi juga menyebutkan sifat-sifat ahli surga kelak di mana di dalamnya tidak ada orang tua, orang dengan bulu kumis, jenggot, dan bulu lainnya.
عن معاذ بن جبل رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ جُرْدًا مُرْدًا مُكَحَّلِينَ، بني ثَلاَثٍ وَثَلاَثِينَ رواه الترمذي
Artinya, “Dari Muadz bin Jabal, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Penghuni surga kelak masuk ke dalamnya dalam keadaan tak berbulu, muda, dan bercelak mata, sekira usia 33 tahun,’” (HR At-Tirmidzi).
Imam Zakiyuddin Abdul Azhim Al-Mundziri dalam Kitab At-Targhib wat Tarhib minal Haditsis Syarif, mengutip riwayat lain Imam At-Tirmidzi yang menyebutkan bahwa di surga tidak ada orang tua dan orang berbulu. Mereka akan senantiasa muda. Pakaian yang mereka kenakan takkan mengalami usang.
ورواه أيضا من حديث أبي هريرة رضي الله عنه وقال غريب ولفظه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أَهْلُ الْجَنَّةِ جُرْدٌ مُرْدٌ كُحْلٌ لَا يَفْنَى شَبَابُهُمْ وَلَا تَبْلَى ثِيَابُهُمْ
Artinya, “Imam At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah RA. Ia berkata, ini hadits gharib dengan lafal, Rasulullah SAW bersabda, ‘Penghuni surga tidak berbulu, muda, dan bercelak mata. Masa muda mereka takkan sirna. Pakaian mereka takkan lusuh,’” (Lihat Imam Zakiyuddin Abdul Azhim Al-Mundziri, At-Targhib wat Tarhib minal Haditsis Syarif, [Beirut, Darul Fikr: 1998 M/1418 H], juz IV, halaman 299).
Menurut Said M Al-Lahham yang menahqiq Kitab At-Targhib wat Tarhib, kata “Jurdun dan murdun” bermakna bahwa di tubuh penghuni surga tidak ada bulu, tidak ada jenggot, dan mereka berusia muda. Mereka akan kekal termasuk semua benda yang ada di hadapan mereka, (Lihat Said M Al-Lahham dalam tahqiq At-Targhib wat Tarhib minal Haditsis Syarif, [Beirut, Darul Fikr: 1998 M/1418 H], juz IV, halaman 299).
Hadits Rasulullah SAW berikut ini yang diriwayatkan sejumlah perawi menyebutkan hal serupa. Hanya saja, pada riwayat ini disebutkan perihal warna kulit, bentuk rambut, dan perawakan penghuni surga.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال قال رسول الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم قَالَ : يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ جُرْدًا مُرْدًا بِيضًا جِعَادًا مُكَحَّلِينَ، أَبْنَاءَ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِينَ، وَهُمْ عَلَى خَلْقِ آدَمَ، طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا فِي عَرْضِ سَبْعَةِ أَذْرُعٍ رواه أحمد وابن أبي الدنيا والطبراني والبيهقي كلهم من رواية علي بن زيد بن جدعان عن ابن المسيب عنه
Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Penghuni surga kelak masuk ke dalamnya dalam keadaan tak berbulu, muda, putih, berambut ikal, dan bercelak mata, sekira usia 33 tahun. Perawakan mereka seperti Nabi Adam AS, yaitu tinggi 60 hasta dan lebar 7 hasta,’” (HR Ahmad, Ibnu Abid Dunia, At-Thabarani, dan Al-Baihaqi. Semuanya mendapat riwayat dari Ali bin Zaid bin Jad’an, dari Ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah RA).
Adapun hadits berikut ini menerangkan hal serupa. Hadits riwayat Imam Al-Baihaqi ini menyebutkan bahwa usia manusia di dunia beragam. Sebagian orang wafat di masa tua. Sebagian lagi wafat di waktu muda. Bahkan ada orang yang wafat melalui insiden keguguran.
Panjang usia manusia di dunia memang ditakdirkan beragam. Semua itu tidak masalah. Tetapi usia penghuni surga kelak seragam sekira di angka 30 tahun atau 33 tahun.
وعن المقدام رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُوْتُ سِقْطاً وَلَا هَرِماً وَإِنَّمَا النَّاسُ فِيْمَا بَيْنَ ذَلِكَ إِلَّا بُعِثَ ابْنَ ثَلَاثٍ وَثَلَاثِيْنَ سَنَةً، فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ كَانَ عَلَى مَسْحَةِ آدَمَ، وَصُوْرَةِ يُوْسُفَ، وَقَلْبِ أيُّوبَ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عَظُمُوْا وَفَخُمُوْا كَالجِبَالِ رواه البيهقي بإسناد حسن
Artinya, “Dari Al-Miqdam RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada satu pun orang nanti, baik yang mati keguguran atau mati ketuaan, hanya sanya di antara itu melainkan akan dibangkitkan sekira berusia 33 tahun. Jika ia penghuni surga, maka ia akan seperti perawakan Nabi Adam AS, rupa Nabi Yusuf AS, dan hati Nabi Ayub AS. Tetapi jika ia penghuni neraka, maka ia akan membesar dan membengkak seperti bukit,’” (HR Al-Baihaqi dengan sanad yang baik).
Lalu bagaimana dengan berjenggot di dunia? Ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menyatakan bahwa pemeliharaan jenggot termasuk anjuran agama. Sementara ulama lain menyatakan bahwa pemeliharaan jenggot tidak termasuk anjuran agama, tetapi semata budaya sesuai aspek kepantasan.
Kedua perbedaan pendapat ini dapat ditemukan setidaknya di kitab-kitab ushul fiqih dan metodologi pemahaman hadits.
Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan ulama perihal jenggot, yang jelas kita berdoa mengharapkan rahmat Allah dan syafaat Rasulullah SAW yang dengan itu kita menjadi penghuni surga kelak. Amin. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)
Membaca Al-Qur’an terjemahan saat ini sudah banyak dilakukan oleh siapa pun, khususnya orang-orang yang ingin mengetahui kandungan arti kata yang terlafalkan dalam Al-Qur’an. Bagi orang yang tak memiliki pengetahuan bahasa Arab yang memadai, Al-Qur’an terjemahan pun menjadi solusi paling mudah.
Lantas muncul pertanyaan, apakah Al-Qur’an terjemahan statusnya sama dengan Al-Qur’an tanpa terjemah, sehingga dalam memegang dan membawanya wajib dalam keadaan suci dari hadats? Atau hukumnya berbeda?
Kaidah yang harus diketahui sebelum menjawab pertanyaan ini adalah bahwa Al-Qur’an menjadi hilang kewajiban memegang dalam keadaan suci ketika di dalamnya lebih dominan penafsiran Al-Qur’an dari pada teks asli Al-Qur’an dalam segi hurufnya. Dalam artian, jika jumlah huruf Al-Qur’an dikalkulasikan (menurut sebagian pendapat, jumlah huruf Al-Qur’an sebanyak 162.671) masih tidak sebanding dengan jumlah huruf yang ada pada tafsir Al-Qur’an. Sehingga diperbolehkan untuk menyentuhnya meski tanpa wudhu, sebab hal tersebut tidak lagi dinamakan mushaf Al-Qur’an tapi beralih menjadi kitab Tafsir. Hal ini seperti yang sering kita lihat dalam kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid seperti tafsir Fakhrurrazi, Al-Qurtuby, Ibnu katsir, dll.
Sedangkan untuk kitab tafsir Jalalain menurut sebagian pendapat jumlah hurufnya lebih banyak dua huruf jika dibandingkan dengan huruf Al-Qur’an sehingga boleh menyentuhnya tanpa wudhu.meski begitu para ulama tetap menganjurkan orrang yang membawa kitab tafsir Jalalain agar tetap dalam keadaan suci, sebab dikhawatirkan adanya kesalahan cetakan atau penulisan dalam kitabnya hingga akhirnya mengurangi jumlah huruf tafsiran yang ada pada kitab tafsir Jalalain.
Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah terjemahan dihukumi sebagai tafsir?
Dalam Manahil al-Irfan dijelaskan bahwa terjemah terbagi menjadi dua. Pertama, terjemah harfiyyah, yakni penerjemahan Al-Qur’an per kata dengan memberikan pada masing-masing kata dalam Al-Qur’an dengan makna yang sesuai (dalam hal ini menggunakan bahasa Indonesia) tanpa adanya loncatan penerjemahan untuk mewujudkan runtutan arti yang sesuai. Kedua, terjemah tafsiriyyah, yaitu penerjemahan Al-Qur’an yang lebih dominan dalam hal mewujudkan rangkaian makna yang sesuai dan mudah dipahami, sehingga penerjemahan dengan model seperti ini sering terjadi loncatan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an (Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil al-Irfan, juz 2, hal. 80).
Terjemahan yang biasanya kita temui dan digunakan oleh khalayak umum termasuk dalam kategori terjemah Tafsiriyyah, sebab jika diteliti secara mendalam banyak sekali ditemukan lompatan-lompatan makna yang tidak sesuai dengan runtutan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, hal ini dikarenakan tujuan penulisan terjemah tersebut lebih ke arah memahamkan pembaca pada maksud dalam kata Al-Qur’an secara umum, bukan mengartikan per-kosa kata dalam Al-Qur’an.
Segala jenis terjemah, baik terjemah tafsiriyyah ataupun harfiyyah tidak berstatus sebagai tafsir yang dapat merubah Al-Qur’an menjadi dapat dipegang meski dalam keadaan hadats. Sebab arti tafsir sendiri adalah:
وان التفسير: هو التوضيح لكلام الله تعالى سواء كانت بلغة الأصل {اللغة العربية} أم بغيرها، بطريق اجمالي أو تفسيري، متناولا كافة المعانى والمقاصد أو مقتصرا على بعضها دون بعض
“Tafsir adalah memperjelas kalam Allah, baik dengan menggunakan bahasa asli (bahasa Arab) atau dengan Bahasa yang lain. Baik penjelasan secara global ataupun dengan cara penafsiran . mencakup terhadap keseluruhan makna dan maksud dalam Al-Qur’an ataupun meringkas dengan sebagian makna dan tujuan tanpa menjelaskan makna dan tujuan yang lain” (Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil al-Irfan, Juz 2, Hal. 80)
Terjemahan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang memperjelas kandungan makna dalam Al-Qur’an, akan tetapi hanya sebatas mengartikan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir. Oleh sebab itu, maka orang yang memegang terjemahan wajib dalam keadaan suci ketika memegang atau membawa Al-Qur’an terjemahan. Hukum ini ditegaskan dalam kitab Nihayah az-Zain:
أما ترجمة المصحف المكتوبة تحت سطوره فلا تعطي حكم التفسير بل تبقى للمصحف حرمة مسه وحمله كما أفتى به السيد أحمد دحلان
“Adapun terjemahan mushaf Al-Qur’an yang ditulis dibawah kertas dari mushaf maka tidak dihukumi sebagai tafsir, akan tetapi tetap berstatus sebagai mushaf yang haram memegang dan membawanya (dalam keadaan hadats), hukum ini seperti halnya yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan.” (Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain juz. 1, Hal. 33)
Demikian penjelasan tentang materi ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa status Al-Qur’an terjemahan tetap dihukumi sebagai Al-Qur’an yang wajib membawa dan memegangnya dalam keadaan suci. Wallahu a’lam.
(Ali Zainal Abidin)
Selain ibadah puasa, salah satu yang spesial di bulan Ramadhan adalah shalat tarawih. Ritual yang dilakukan setelah shalat Isya ini memiliki keutamaan dan pahala yang besar. Syekh Taqiyuddin al-Hishni dalam karyanya Kifayatul Akhyar menegaskan bahwa kesunnahan shalat tarawih merupakan kesepakatan seluruh ulama dari berbagai mazhab, tidak dianggap pendapat-pendapat yang menyelisihi konsensus tersebut.
Al-Hishni mengatakan:
وَأما صَلَاة التَّرَاوِيح فَلَا شكّ فِي سنيتها وانعقد الْإِجْمَاع على ذَلِك قَالَه غير وَاحِد وَلَا عِبْرَة بشواذ الْأَقْوَال
“Adapun shalat tarawih, tidak diragukan lagi di dalam kesunnahannya. Kesepakatan ulama telah menjadi kukuh di dalam kesunnahannya, yang demikian dikatakan tidak hanya satu orang. Tidak dianggap pendapat-pendapat yang menyimpang” (Syekh Taqiyuddin al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, hal. 89).
Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan tentang keutamaan tarawih. Di antaranya hadits Nabi riwayat Imam al-Bukhari, Muslim dan lainnya:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau” (HR al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Ulama sepakat bahwa redaksi “qâma ramadlâna” di dalam hadits tersebut diarahkan pada shalat tarawih. Syekh Khatib al-Syarbini menegaskan:
وَقَدْ اتَّفَقُوا عَلَى سُنِّيَّتِهَا وَعَلَى أَنَّهَا الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَقَوْلُهُ: إيمَانًا: أَيْ تَصْدِيقًا بِأَنَّهُ حَقٌّ مُعْتَقِدًا فَضِيلَتَهُ، وَاحْتِسَابًا: أَيْ إخْلَاصًا،
“Ulama sepakat atas kesunnahan tarawih dan sesungguhnya tarawih adalah shalat yang dikehendaki dalam hadits Nabi, Barang siapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau. Hadits diriwayatkan al-Bukhari. Adapun sabda Nabi “imanan”, maksudnya adalah membenarkan bahwa yang demikian itu haq seraya meyakini keutamaannya. Sabda Nabi “wahtisaban”, maksudnya ikhlas” (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 459).
Ulama berbeda pendapat mengenai dosa yang diampuni dalam hadits tersebut, sebagaimana mereka juga ikhtilaf di dalam hadits-hadits sejenis. Menurut al-Imam al-Haramain, yang dihapus hanya dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar hanya bisa diampuni dengan cara bertaubat. Sementara menurut Imam Ibnu al-Mundzir, redaksi “mâ” (dosa) dalam hadits tersebut termasuk kategori lafadh ‘âm (kata umum) yang berarti mencakup segala dosa, baik kecil atau besar.
Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli mengatakan:
قَالَ الْإِمَامُ: )وَالْمُكَفَّرُ الصَّغَائِرُ دُونَ الْكَبَائِرِ( . قَالَ صَاحِبُ الذَّخَائِرِ: وَهَذَا مِنْهُ تَحَكُّمٌ يَحْتَاجُ إلَى دَلِيلٍ وَالْحَدِيثُ عَامٌّ وَفَضْلُ اللَّهِ وَاسِعٌ لَا يُحْجَرُ. قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي قَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ» : هَذَا قَوْلٌ عَامٌّ يُرْجَى أَنَّهُ يُغْفَرُ لَهُ جَمِيعُ ذُنُوبِهِ صَغِيرُهَا وَكَبِيرُهَا
“Al-Imam al-Haramain berkata, yang dilebur adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar. Berkata pengarang kitab al-Dzakhair, ini adalah vonis sepihak dari al-Imam al-Haramain yang butuh dalil, padahal haditsnya umum dan anugerah Allah luas tak terbendung. Ibnu al-Mundzir berkata di dalam sabda Nabi, Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau, ini adalah perkataan yang umum, diharapkan terampuninya seluruh dosa-dosa bagi pengamalnya, dosa kecil dan besar” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 3, hal. 206).
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sayyidah Aisyah bahwa Nabi pada suatu malam berada di dalam masjid, beliau shalat dan diikuti oleh para sahabat. Di hari berikutnya Nabi shalat seperti di hari pertama dan jamaah yang mengikutinya bertambah banyak. Kemudian di hari ke tiga atau keempat sahabat berkumpul di masjid untuk menanti kedatangan Nabi untuk shalat jamaah tarawih bersama-sama, namun Nabi tidak kunjung hadir hingga subuh. Beliau menjelaskan perihal ketidakhadirannya di masjid semalam, beliau bersabda “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan, tidaklah mencegahku untuk keluar shalat bersama kalian kecuali aku khawatir shalat ini difardlukan atas kalian. Perawi hadits menjelaskan bahwa yang demikian itu terjadi di bulan Ramadhan” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Nabi sengaja tidak melanjutkan jamaah tarawih di masjid di hari-hari berikutnya karena khawatir ada anggapan bahwa shalat tarawih hukumnya wajib. Sunnah ini kemudian berlanjut sampai masanya khalifah Abu Bakr al-Shidiq. Hingga pada masa khalifah Umar bin al-Khatab, atas ide khalifah Umar dan disepakati seluruh sahabat, dilakukan jamaah tarawih secara rutin di masjid hingga akhir Ramadhan. Ulama menjelaskan bahwa telah terjadi perbedaan konteks di zaman Nabi & Abu Bakr dengan masanya Umar sehingga terjadi praktik yang berbeda dalam pelaksanaan tarawih. Bila di masa Nabi masih sangat rentan diyakini wajib, maka alasan tersebut hilang saat masa kepemimpinan Sayyidina Umar, sehingga dilakukan jamaah tarawih secara rutin di masjid.
Syekh Taqiyuddin al-Hishni menegaskan:
وَفعل عمر ذَلِك لأمنه الافتراض
“Dan Sayyidina Umar melakukan hal demikian (mengumpulkan manusia untuk shalat jamaah tarawih) karena terjamin dari anggapan kewajiban tarawih” (Syekh Taqiyuddin al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, hal. 89)
Imam al-Baihaqi dan lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa umat Islam shalat tarawih di bulan Ramadhan pada masa pemerintahan Sayyidina Umar bin al-Khattab sebanyak 20 rakaat. Di dalam riwayat lain dari Imam Malik di kitab al-Mawattha’, jumlah rakaat shalat yang dilakukan di masa Umar adalah 23 rakaat. Al-Imam al-Baihaqi kemudian mengompromikan dua dalil tersebut bahwa riwayat yang menyatakan 20 rakaat konteksnya adalah tanpa menghitung 3 rakaat sahalat witir, sedangakan riwayat yang menyebut 23 rakaat setelah menghitung 3 rakaat witir.
Demikian penjelasan mengenai keutamaan shalat tarawih. Semoga kita diberi kekuatan untuk istiqamah menjalankannya dengan ikhlas. Wallahu a'lam.
Selain harus melaksanakan kewajiban-kewajiban pada saat puasa, kita juga dituntut untuk menjaga diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Dalam kitab Fath al-Qarib dijelaskan bahwa perkara yang dapat membatalkan puasa meliputi beberapa hal, berikut perinciannya:
Pertama, sampainya sesuatu ke dalam lubang tubuh dengan disengaja. Maksudnya, puasa yang dijalankan seseorang akan batal ketika adanya benda (‘ain) yang masuk dalam salah satu lubang yang berpangkal pada organ bagian dalam yang dalam istilah fiqih biasa disebut dengan jauf. Seperti mulut, telinga, hidung. Benda tersebut masuk ke dalam jauf dengan kesengajaan dari diri seseorang.
Lubang (jauf) ini memiliki batas awal yang ketika benda melewati batas tersebut maka puasa menjadi batal, tapi selama belum melewatinya maka puasa tetap sah. Dalam hidung, batas awalnya adalah bagian yang disebut dengan muntaha khaysum (pangkal insang) yang sejajar dengan mata; dalam telinga, yaitu bagian dalam yang sekiranya tidak telihat oleh mata; sedangkan dalam mulut, batas awalnya adalah tenggorokan yang biasa disebut dengan hulqum.
Puasa batal ketika terdapat benda, baik itu makanan, minuman, atau benda lain yang sampai pada tenggorokan, misalnya. Namun, tidak batal bila benda masih berada dalam mulut dan tidak ada sedikit pun bagian dari benda itu yang sampai pada tenggorokan.
Berbeda halnya ketika benda yang masuk dalam jauf seseorang yang sedang berpuasa dilakukan dalam keadaan lupa, atau sengaja tapi ia belum mengerti bahwa masuknya benda pada jauf adalah hal yang dapat membatalkan puasa. Dalam keadaan demikian, puasa yang dilakukan seseorang tetap dihukumi sah selama benda yang masuk dalam jauf tidak dalam volume yang banyak, seperti lupa memakan makanan yang sangat banyak pada saat puasa. Maka ketika hal tersebut terjadi puasa dihukumi batal. (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 259)
Kedua, mengobati dengan cara memasukkan benda (obat atau benda lain) pada salah satu dari dua jalan (qubul dan dubur). Misalnya pengobatan bagi orang yang sedang mengalami ambeien dan juga bagi orang yang sakit dengan memasang kateter urin, maka dua hal tersebut dapat membatalkan puasa.
Ketiga, muntah dengan sengaja. Jika seseorang muntah tanpa disengaja atau muntah secara tiba-tiba (ghalabah) maka puasanya tetap dihukumi sah selama tidak ada sedikit pun dari muntahannya yang tertelan kembali olehnya. Jika muntahannya tertelan dengan sengaja maka puasanya dihukumi batal.
Keempat, melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis (jima’) dengan sengaja. Bahkan, dalam konteks ini terdapat ketentuan khusus: puasa seseorang tidak hanya batal dan tapi ia juga dikenai denda (kafarat) atas perbuatannya. Denda ini adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, ia wajib memberi makanan pokok senilai satu mud (0,6 kilogram beras atau ¾ liter beras) kepada 60 fakir miskin. Hal ini tak lain bertujuan sebagai ganti atas dosa yang ia lakukan berupa berhubungan seksual pada saat puasa.
Kelima, keluarnya air mani (sperma) disebabkan bersentuhan kulit. Misalnya, mani keluar akibat onani atau sebab bersentuhan dengan lawan jenis tanpa adanya hubungan seksual. Berbeda halnya ketika mani keluar karena mimpi basah (ihtilam) maka dalam keadaan demikian puasa tetap dihukumi sah.
Keenam, mengalami haid atau nifas pada saat puasa. Selain dihukumi batal puasanya, orang yang mengalami haid atau nifas berkewajiban untuk mengqadha puasanya. Dalam hal ini puasa memiliki konsekuensi yang berbeda dengan shalat dalam hal berkewajiban untuk mengqadha. Sebab dalam shalat orang yang haid atau nifas tidak diwajibkan untuk mengqadha shalat yang ia tinggalkan pada masa haid atau nifas.
Ketujuh, gila (junun) pada saat menjalankan ibadah puasa. Ketika hal ini terjadi pada seseorang di pertengahan melaksanakan puasanya, maka puasa yang ia jalankan dihukumi batal.
Kedelapan, murtad pada saat puasa. Murtad adalah keluarnya seseorang dari agama Islam. Misalnya orang yang sedang puasa tiba-tiba mengingkari keesaan Allah subhanahu wata’ala, atau mengingkari hukum syariat yang sudah menjadi konsensus ulama (mujma’ alaih). Di samping batal puasanya, ia juga berkewajiban untuk segera mengucapkan syahadat serta mengqadha puasanya.
Delapan hal diatas adalah perkara yang dapat membatalkan puasa, ketika salah satu dari delapan hal tersebut terjadi pada saat puasa, maka puasa yang dijalankan oleh seseorang menjadi batal. Semoga ibadah puasa kita pada bulan Ramadhan kali ini diberi kelancaran dan kesempurnaan serta menjadi ibadah yang diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Amin yaa Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam.
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember