Hukum Berbuka Puasa lewat Azan Maghrib di TV, Berikut Penjelasannya
Mei 14, 2019
Hukum Berbuka Puasa lewat Azan Maghrib di TV
Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, umumnya kebanyakan masyarakat menghidupkan televisi di sore hari Ramadhan untuk menunggu suara azan Maghrib. Bahkan masyarakat telah mengetahui stasiun televisi yang kerap memutar lebih awal kumandang azan maghrib dibanding stasiun televisi lainnya. Bagaimana dengan buka puasa dengan suara azan di tv? Mohon penjelasannya. Wassalamu alaikum wr. wb. (Syamsul Huda/Jakarta).
Jawaban
Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah SWT. Puasa adalah ibadah yang menuntut seseorang untuk menahan diri dari makanan, minuman, dan hubungan seksual sejak terbit fajar hingga matahari tenggelam atau ghurub.
Orang yang menjalankan ibadah puasa perlu memastikan tenggelamnya matahari sebagai waktu berbuka puasa. Oleh karena itu, ia perlu berhati-hati untuk menyantap hidangan takjil sebelum ada informasi pasti perihal ghurub atau matahari tenggelam.
قوله (والاحتياط أن لا يأكل آخر النهار إلا بيقين) كأن يعاين الغروب ليأمن الغلط (ويحل) الأكل آخره (بالاجتهاد) بورد أو غيره (في الأصح) كوقت الصلاة، والثاني: لا، لإمكان الصبر إلى اليقين.
Artinya, “(Seseorang tidak memakan sesuatu di ujung siang Ramadhan sebagai bentuk ihtiyath atau kehati-hatian kecuali berdasarkan keyakinan) yaitu menyaksikan matahari tenggelam agar terjamin dari kekeliruan. (Seseorang boleh) memakan sesuatu di ujung siang Ramadhan (berdasarkan ijtihad) yaitu wirid atau lainnya (menurut pendapat yang lebih shahih) seperti waktu shalat. Sedangkan pendapat kedua mengatakan tidak boleh memakan takjil karena masih memungkinkan kesabaran sampai benar-benar yakin masuk waktu maghrib,” (Lihat M Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Makrifah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz I, halaman 631).
Dari keterangan ini, kita mendapatkan keterangan bahwa orang yang beribadah puasa perlu berupaya untuk mencari informasi perihal kedatangan waktu maghrib. Artinya, ia tidak boleh menduga-duga atas kedatangan waktu maghrib yang berkaitan dengan waktu berbuka puasa.
أما بغير اجتهاد فلا يجوز ولو بظن؛ لأن الأصل بقاء النهار، وقياس اعتماد الاجتهاد جواز اعتماد خبر العدل بالغروب عن مشاهدة
Artinya, “Adapun tanpa berdasarkan ijtihad, maka seseorang tidak boleh berbuka puasa meski dengan dugaan karena pada prinsipnya waktu siang masih berjalan. Sedangkan qiyas ijtihad sebagai sandaran buka puasa dimungkinkan sebagaimana kebolehan kabar seorang yang adil atas tenggelamnya matahari berdasarkan kesaksiannya,” (Lihat M Khatib As-Syarbini, Mughnil muhtaj, [Beirut, Darul Makrifah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz I, halaman 631-632).
Lalu bagaimana status azan maghrib di bulan Ramadhan yang diputar oleh pelbagai stasiun televisi?
Azan maghrib yang diputar oleh pelbagai stasiun televisi didasarkan pada semisal jadwal imsakiyah dan waktu shalat yang juga sebenarnya dimiliki masyarakat dan dapat diverifikasi di rumah masing-masing. Sementara jadwal imsakiyah dan waktu shalat disusun berdasarkan perhitungan astronomis.
Menurut hemat kami, seseorang yang beribadah puasa boleh menyandarkan diri waktu maghribnya pada azan yang diputar oleh stasiun televisi.
Namun demikian, kami menyarankan agar masyarakat menunggu sejenak buka puasanya untuk memastikan waktu maghrib dengan memindah-mindah ke stasiun tv yang lain dan memverifikasinya dengan jam dinding serta jadwal shalat dan imsakiyah agar informasi atas waktu maghrib diperoleh secara mutawatir dan dari pelbagai sumber.
Ketika waktu maghrib telah pasti, maka ketika itu kita disunnahkan untuk berbuka puasa sebagaimana keterangan Syekh Ramli berikut ini:
وَمَحَلُّ النَّدْبِ إذَا تَحَقَّقَ الْغُرُوبُ أَوْ ظَنَّهُ بِأَمَارَةٍ لِخَبَرِ {لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ} مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya, “Kesunnahan penyegeraan berbuka puasa terletak pada kepastian waktu maghrib atau dugaan waktu maghrib dengan tanda-tanda tertentu berdasarkan hadits, ‘Orang-orang senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka,’ [HR Muttafaq Alaih],” (Lihat Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz IX, halaman 408).
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
(Alhafiz Kurniawan)
0 komentar